MENGIKHLASKAN KEPERGIAN BAPAK

Suatu sore, bulan november tahun 2022, saat sedang dikantor tiba-tiba muncul notifikasi di HP-ku 'Ulang Tahun Bapak' pada tahun-tahun sebelumnya, setiap kali mendekati ulang tahun bapak, seringkali ada perasaan yang tiba-tiba sedih dan gelisah. Tapi tahun ini berbeda, ada satu momen di bulan oktober sebelum aku kembali ke tempatku merantau aku mendatangi makam bapak. 


Setelah melantunkan beberapa doa, aku menyampaikan sesuatu pada bapak “Aku sudah mengikhlaskan kepergian Bapak. Ikhlas yang memang datang dari dalam hati dan pikiranku. Mulai tahun ini, aku mengenang setiap tanggal meninggal Bapak, dengan cara yang tak lagi sama dengan tahun – tahun sebelumnya.”


TUJUH BELAS TAHUN PENUH PERTANYAAN


Saya sering menuliskan di beberapa notes dan media sosial pribadi saya ini, bahkan setiap tanggal ulang tahun Bapak, cara saya mengenang Beliau dihari itu. Saya bercerita tentang kenangan yang sangat saya ingat tentang Beliau, kesedihan mendalam setelah Bapak meninggal, dan segala hal yang berubah di keluarga sepeninggal Beliau. Semua tak lagi sama. Saya, Ibu, dan mbak-mbak, berjuang dengan cara masing – masing untuk tetap menatap ke depan, melangkah dan menjalani hari demi hari dengan perasaan dan beban yang berat.


Sangat berat. Hati yang penuh pergumulan, kepala yang tak pernah sepi dari pertanyaan, dan terkadang ada bagian dari diri saya yang selalu menggugat ke Allah, “Kenapa Bapak?” Terlalu banyak hal – hal baik dari Bapak. Bahkan saya tidak ingat, apa hal yang tercela dari Bapak. Jika diceritakan, sampai berhari – haripun tidak akan selesai kebaikan apa yang sudah Bapak perbuat, banyaknya cinta yang sudah Bapak berikan. Setiap mengenang Bapak, banyak orang selalu menceritakan kebaikan. Sampai saat ini, kemudahan hidup yang saya dapatkan, berkat kebaikan yang selalu Bapak sebarkan semasa hidup. Bahkan yang mengantarkan Bapak ke kuburan, kata Ibuk, saking banyaknya orang sampai jalan penuh sesak. Banyak yang mencintai Bapak. Kenapa Bapak yang harus pergi lebih dulu?


Saya yang awalnya merasa bahwa ini akan mudah terlewati, ternyata semakin bertambah tahun, tegar yang akhirnya saya sadari sebagai pura – pura supaya nampak baik – baik saja, tidak bisa saya tahan lagi. Saya menyerah untuk tegar. Saya mulai mempertanyakan banyak hal, menggugat hal – hal yang sebenarnya tidak perlu karena sebagai orang yang percaya konsep Tuhan dan Agama, semuanya adalah takdir yang memang tidak bisa kita lawan. Kelahiran, Jodoh, Kematian. Semua sudah tertuliskan dengan pasti.


Setiap saya sholat, berdoa, puasa, dalam hati kecil, saya tetap mempertanyakan banyak hal tentang kepergian Bapak yang mendadak, tanpa tanda, tanpa sakit, tanpa pesan, tanpa persiapan dari kami yang ditinggalkan, “Allah, kenapa?” Banyak pertanyaan yang semakin membuat saya terpuruk, langkah saya berat, hati saya lupa dengan rasa syukur, dan kepala saya terus menoleh ke belakang.


Sholat, puasa, dan segala amalan lainnya, saya rasakan hanya sebagai formalitas saja. Saya tetap menjalankan itu semua, tapi hati saya merasa jauh dari Allah. Semua pertanyaan dan kesedihan yang mendalam, menjauhkan saya dari Allah dalam ibadah yang semakin intensif. Saya sering merasa, sepi dalam keramaian. Saya tidak punya tujuan hidup lagi. Buat apa? Toh Bapak sudah meninggal. Untuk apa semua ini?


Selama 17 tahun sejak kepergian Bapak, meskipun banyak hal yang bisa saya capai, tapi semuanya hampa. Ada rasa : Lalu apa setelah ini? Sembilan tahun penuh perjuangan untuk mencoba berjalan tanpa terseok, menuruti setiap rasa yang ada, selalu menangis setiap teringat Bapak, tidak pernah tersenyum bahagia saat bercerita tentang Beliau. Yang keluar dari mulut dan kepala selalu rasa sedih karena ditinggalkan.


Padahal, ada banyak cara untuk mengingat Beliau semasa hidup. Cara yang lebih bahagia.


Sampai pada satu titik, saya disadarkan untuk tidak lagi berlarut dengan kondisi seperti ini. Cukup dan saya cukupkan sampai di sini.

Komentar

Postingan Populer