BERHENTI BERTANYA DAN MENGIKHLASKAN KEPERGIAN BAPAK

Sekitar bulan Januari tahun 2021, kondisi mental saya sedang parah – parahnya tidak dalam keadaan baik. Covid dan banyak berita kematian dari saudara, teman, dan keluarga sahabat, terutama saat ibu saya terjangkit covid dengan symptoms yang cukup parah.


Saya terlalu larut dan berkepanjangan dengan kesedihan yang dampaknya ke mana – mana. Saya selalu merasa bahwa saya tidak punya lagi tujuan hidup. Untuk apa? Padahal, sekarang saya masih punya keluarga. Tujuan hidup untuk diri sendiri, untuk Ibu, mbak - mbak saya dan mungkin untuk keluarga kecil saya nanti. Masih banyak yang bisa saya jadikan tujuan hidup. Kenapa selama enam belas tahun ini saya hanya terpaku pada kesedihan atas kepergian Bapak. Kenapa saya tidak punya energi lagi untuk memperhatikan diri sendiri dan keluarga saya. Mereka membutuhkan saya, sementara saya makin tenggelam dalam kesedihan. Saya tidak adil memperlakukan diri sendiri dan mereka.


Siang itu, saya menangis sejadinya di depan makam bapak. Saya minta maaf kepada bapak karena selama ini hati saya terbelah. Saya minta maaf karena terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, bergumul dengan kesedihan yang membuat saya makin terpuruk. Saya memeluk nisan bapak dan berjanji kepada diri sendiri bahwa hidup harus saya lanjutkan dengan cara yang berbeda.


Saya berhenti untuk bertanya tentang apapun yang berhubungan dengan berpulangnya Bapak. Malam hari saat sholat Maghrib, saya berdoa dan berucap, “Bapak, saya akan belajar ikhlas. Saya tidak mau lagi mempertanyakan apa yang sudah Allah tetapkan. Saya tidak mau lagi bersedih atas apa yang sudah ditakdirkan. Saya ikhlas Bapak sudah tenang di alam yang berbeda dengan kami. Saya ikhlas Pak.”


Butuh waktu 16 tahun sampai pada titik saya bisa mengatakan sebuah kata ikhlas. Titik di mana saya menyadari bahwa kesedihan ini memang waktunya untuk disudahi. Tidak perlu berlarut lagi. Memang harus diterima apa yang sudah digariskan. Saya hanya lakon yang tidak punya kuasa melawan ketetapan tentang kematian.


Saya punya keluarga yang selalu mengerti keadaan. Mbak yang tak pernah lelah mendengarkan tiap tangisan saat saya bercerita tentang Bapak. Saatnya saya mengurusi diri sendiri. Saatnya saya kembali lagi memperhatikan Ibu dan mbak – mbak saya. Langkah dan hati saya sudah sangat berat 16 tahun ini. Saatnya saya menikmati hidup dengan mereka yang saya sayangi. Teman – teman dan para sahabat. Saya tidak tau sampai kapan hidup dan saya juga tidak bisa menebak sampai usia berapa mereka ada dalam hidup saya.


Saya memutuskan untuk hidup saat ini, di sini, sekarang. Saya tidak mau lagi sering menoleh ke belakang. Bapak sudah meninggal, itu sebuah kenyataan. Apapun yang akan dan telah saya lakukan, tidak bisa mengubah keadaan. Bapak tetap meninggal. Yang ada di depan mata saya, yang perlu saya jalani. Bapak sudah selesai. Tidak perlu lagi saya ratapi. Selesai.


Setelah hari itu, saya mengenang Bapak dengan cara berbeda. Setiap bercerita tentang Beliau, saya hampir tidak pernah menangis lagi. Saya bercerita dengan senyuman. Saya mengenang segala kebaikan, segala hal – hal indah yang pernah kami lalui sekeluarga. Tentang kebanggaan saya punya Bapak seperti Beliau.


Saat persis tanggal ditahun 16 Bapak berulang tahun, saya melakukan hal yang biasa untuk mengenang Bapak, membuat nasi goreng super pedas. Untuk yang terakhir kalinya. Masih menuliskan kata penuh rindu dengan perasaan yang lebih ringan. Beberapa hari setelahnya keihlasan itu mantab datang.

"Di umur sayang yang ke-25 ini sebenarnya saya masih merindukan peluk hangat darimu, Pak. 16 tahun kita berpisah, semoga Allah menempatkan Bapak di tempat terbaiknya. Aamiin"

Saya meletakkan yang sudah selesai. Saya melangkah untuk hidup saat ini, bukan hidup yang sudah berlalu. Saya memandang ke depan bersama orang – orang yang saya sayangi yang masih hidup, dengan membawa Bapak dalam hati saya penuh dengan bahagia, bukan kesedihan yang mendalam. Yang sudah selesai, selesai.

Komentar

Postingan Populer